Romantika Dua Saudara-02
Setelah basah seluruhnya, dia pun mengoleskan batangan sabun tadi ke
tubuhku mulai dari tanganku. Ada perasaan aneh lagi yang muncul setiap
kali dia menggosokkan sabun ke badanku. Perasaan aneh ini sangat terasa
sekali ketika batangan sabun dioleskan ke payudaraku yang bengkak itu.
Perasaan geli yang sangat menyebabkan putik pinangku menjadi mengeras.
Begitu sabun dioleskan, tangannya pun bermain mengelus lembut kulit
tubuhku.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot
yang mulai tumbuh sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak,
mungkin karena dia pekerja keras. Lengan dan kakinya berotot dan
rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan
badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini,
karena pada waktu itu aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku
belum pernah melihat orang seperti dia. Aku hanya bisa kagum dan
terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas
dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.
"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil memperkenalkan diri.
Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai
menceritakan keadaan kami dan tentunya keadaan aku yang kata kakakku
tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak kata-kata yang kami
tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun
menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini
sudah meninggal seperti orang tua kami. Entah mengapa kami merasa
seperti senasib saja.
Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa
senang dan akrab. Hari sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk
makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu saja bersedia karena memang
sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi dulu
baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan.
Akan lebih baik apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu
yang dikatakan oleh Bang Atin. Setelah selesai kakakku mandi maka
pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.
"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa
hanya satu hari saja. Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh
tinggal di sini sampai pengobatannya selesai. Pengobatannya tidak perlu
dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada malam hari," kata
Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru
pulih, dan yang penting kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara
menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti cara-cara olah tubuh
untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.
Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan
kata-kata "olah tubuh" yang diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya
karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah berangkat malam, suara
jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan
oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang
tengah. Langsung kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah.
Bang Atin, sang dukun, menyelimuti kakakku dengan selembar kain
panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai
terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara
pengobatan yang akan dilakukannya.
"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya penyakit tidak mudah lengket," katanya.
Kemudian dia tersenyum manis kepadaku dan mengajakku ke perigi di
ruang belakang rumahnya. Aku mengikutinya dengan keadaan yang masih
terheran-heran. Aku melihat dia mengambil semacam batangan dan selembar
serabut. Akhirnya aku baru mengerti bahwa itu yang dinamakan sabun dan
sabut penggosok. Setelah sampai di perigi yang disekelilingnya dipagari
oleh bambu, aku pun disuruhnya berdiri. Sambil menunduk dia mendekatkan
hidungnya ke bahuku namun belum menyentuhku. Aku ukur tinggi badanku
kira-kira sebahunya.
"Kamu jarang mandi, ya? Tubuhmu masih bau keringat. Kamu tidak perlu takut kepada ku," katanya.
Aku pun berusaha tenang dan pasrah terhadap apa yang dilakukannya.
Dia mulai menyentuh tanganku dengan menggenggam jemari kananku. Aku
terkejut, ada getaran baru yang belum pernah kurasakan. Aku belum
pernah disentuh selembut itu oleh seorang lelaki lain. Getaran demi
getaran meletup dari dalam dadaku ketika semakin erat Bang Atin
menggenggam jemari tanganku.
"Kamu harus buka dulu pakaian biar Abang mudah memandikan kamu," pintanya.
Aku masih bingung dan diam. Kemudian tangannya mulai membuka simpul
kain sarungku dan melepaskannya ke bawah. Kain sarungku pun jatuh ke
lantai dan langsung basah oleh sisa-sisa air. Selanjutnya baju ku pun
dibukanya dan dijatuhkan lagi di lantai. Terpampanglah tubuhku tanpa
sehelai benangpun, karena aku tidak pernah memakai yang namanya celana
dalam, singlet dan beha. Barang-barang itupun baru kutahu akhir-akhir
ini. Di keremangan sinar bulan ditambah sedikit cahaya lampu togok yang
redup tubuhku diperhatikannya dengan seksama.
Beberapa kali kulihat dia memandangku penuh perasaan dari atas sampai
ke bawah. Aku semakin bingung saja, perasaan aneh berkecamuk dalam
diriku. Dia merangkul pundakku dan menarikku ke arah baskom besar
berisi air. Aku disuruhnya berjongkok dan dia pun mulai menyiramkan air
ke tubuhku mulai dari rambut kepalaku. Akh, dingin sekali malam itu.
Rambutku yang panjang lebat dan hitam pun sudah basah. Seluruh tubuhku
tak lepas dari guyurannya.
Tubuhku bergetar dan menggelinjang ketika jemari tangannya
mengusap-usap payudaraku yang belum pernah disentuh itu. Tidak lepas
satu inci pun kulit tubuhku yang luput dari olesan sabunnya. Setelah
itu dengan lembut digosokkannya sabut lembut itu ke tubuhku. Aku
semakin kegelian saja. Aku tak sadar lagi perasaan yang kurasakan saat
itu. Aku telah lupa dengan dinginnya malam itu, berganti dengan geli
akibat sentuhannya. Setelah selesai memandikan aku dia mulai melap
badanku dengan sehelai kain tebal yang akhirnya kutahu namanya handuk.
Rambutku dikeringkannya dan seluruh tubuhku kering dilapnya. Aku masih
tetap terdiam dan terpana dengan perlakuannya yang sangat lembut
tersebut. Kemudian dia menyelimutkan handuk tersebut ke sekeliling
badanku yang m, enutupi dadaku dan pinggulku. Selanjutnya dia menarik
tanganku untuk terus ke ruang tengah. Sambil lewat aku melihat kakakku
Antan masih tertidur sangat pulasnya di atas ranjang rotan kecil itu.
Bang Atin mendekati kakakku dan memperhatikannya, sepertinya dia
memastikan apakah kakakku betul-betul tertidur atau tidak.
Kemudian Bang Atin kembali mendekatiku dan dia menempatkan satu
tangannya pada pinggulku dan satunya lagi di tengkukku. Aku terkejut
dan menghindar sedikit, namun dengan cepat dia mengangkatku sehingga
aku pun berada dalam gendongannya. Aku digendong ke kamarnya. Aku
pasrah saja dan ada perasaan senang yang muncul ketika dia
memperlakukan begitu. Aku betul-betul tidak mengerti dengan keadaan
ini, sudah sekian lama aku belum mendapatkan kasih sayang dari
seseorang seperti itu. Kemudian dia mendudukkan aku di pinggir ranjang
yang ukurannya kira-kira muat 2 orang tersebut. Dia sibuk menambah alas
ranjang itu dengan beberapa lembar tikar dari daun pandan.
Sekarang ranjang itu kelihatan sudah tebal (mungkin maksudnya agar
serasa di atas kasur dan jelas aku tambah tidak mengerti). Aku
perhatikan kamar itu cukup sederhana sekali, dengan satu ranjang dari
kayu dan lantainya di alas tikar. Di dindingnya bergantungan kain-kain
yang sepertinya sudah dipakai oleh Bang Atin. Aku melihat satu lemari
yang hanya menyerupai kotak sebagai tempat kain-kainnya.
Kemudian satu buah kelambu yang tergantung di atas ranjang yang belum
terpasang. Aku merasakan bau yang kurang menyenangkan di kamar itu,
namun Bang Atin tampaknya mengerti dengan pikiranku. Dia keluar kamar
dan tak berapa lama kembali lagi dengan membawa satu mangkok yang
berisi dedaunan. Kemudian dia menyiramkan dengan ujung jarinya air
dalam mangkok tadi dan suasana pun menjadi wangi. Rupanya dia membawa
wewangian dari dedaunan.
"Sekarang coba adik berbaring di atas ranjang ini!" perintahnya.
Aku pun menurut dan dia pun naik ke ranjang dan menggeser aku ke
tepi sebelah dinding. Kulihat dia pun menurunkan kelambu dan
memasangnya pada pinggir-pinggir ranjang. Jadilah kami berdua saja yang
berada dalam kelambu jarang tersebut. Cahaya temaram lampu minyak itu
menampakkan perbedaan kulit kami. Aku tampak seperti sosok putih
sedangkan dia seperti sosok kehitaman namun masih jelas ku lihat
lekuk-lekuk tubuh kami.
Aku yang hanya memakai handuk sementara dia masih dengan kain
sarungnya. Perlahan dia membuka singletnya dan tampaklah olehku kulit
dadanya yang bidang. Kemudian dia memiringkan tubuhnya ke arahku dan
dadaku terasa berdegup keras kembali menantikan apa yang akan
dilakukannya kepadaku.
"Munah, mungkin kamu belum mengerti apa kegunaan milik kamu itu.
Sebenarnya banyak kegunaannya. Abang akan jelaskan padamu," begitu
katanya memulai bicara.
"Sekarang Abang buka handuk kamu ya?" pintanya.
Aku menurut saja, perlahan dibukanya simpul handukku dan
disingkapkannya ke samping. Terbukalah tubuh telanjangku di hadapannya.
Tubuh gadis 14 tahun yang sedang subur-suburnya. Kalau boleh aku
misalkan sekarang mungkin seperti tubuh Marshanda, artis sinetron itu,
tetapi buah dadaku mungkin lebih besar dan rambutku tentunya lebih
panjang.
"Kamu tahu kan, ini namanya payudara," katanya seraya tangannya
mulai menyentuh dan menggenggamnya. Kembali tubuhku bergetar kegelian.
"Yang ini namanya itup," katanya lagi saat dia memegang ujung puting susuku.
"Kamu pasti merasakan kegelian dan lama-lama akan terasa enak," lanjutnya lagi.
"Ya, Bang," jawabku singkat.